Social Icons

OBAT HATI

pabedilancirtim.xtgem.com
suatu penyakit yang membuat badan kesakitan, harus diobati dengan kebalikannya. Jika badan terasa panas, maka harus diobati dengan yang dingin. Jika badan kedinginan harus diobati dengan yang panas. Begitu akhlak-akhlak yang hina, yang termasuk penyakit hati, harus diobati dengan kebalikannya. Penyakit kebodohan harus diobati dengan ilmu, penyakit kikir harus diobati dengan kedermawanan, penyakit takabur harus diobati dengan tawadhu’, penyakit rakus harus diobati dengan menghentikan hal-hal yang menggugah nafsunya. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 192 Penerbit Pustaka Al-Kautsar (1997))
Kekuatan hasrat
Yang sangat diperlukan orang yang melatih jiwanya sendiri adalah kekuatan hasrat. Selagi dia maju mundur, tentu tidak akan berhasil. Selagi merasa hasratnya melemah, maka dia harus bersabar. Jika hasratnya semakin merosot, maka dia harus menghukumnyaagar tidak terulang, seperti kata seseorang kepada dirinya sendiri, “Mangapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak perlu? Akan kuhukum jiwamu dengan puasa.” (ibid, hlm. 192)
Zuhud dan pendek angan-angan
Menurut Imam Al Ghazali, sebab-sebab manusia panjang angan-angan dan lalai dari mengenal Allah disebabkan oleh cinta dunia dan kebodohan. Ada seorang wanita yang menghadap Aisyah ra menanyakan obat bagi orang yang sedang mengalami kegelisahan. Maka Aisyah menjawab “Ingatlah mati”. Obat itu sungguh mujarab dan beberapa waktu kemudian wanita itu kembali datang menghadap Aisyah dengan wajah berseri-seri bahagia. (Al Ghazali, Metode Menjemput Maut, hlm. 29, penerbit Mizan cet. IX (2001))
Apa yang disinyalir oleh Al Ghazali juga dibenarkan oleh Imam Ibnul Qayyim. Beliau berkata, “Menyia-nyakan hati disebabkan dari sikap yang lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada akhirat, dan membiarkan waktu terbuang dengan anggapan esok masih ada (thulul amal). Yang dimaksud dengan kerusakan secara menyeluruh adalah kerusakan yang disebabkan memperturutkan hawa nafsu dan menganggap usianya masih panjang. Sedangkan seluruh nilai kebaikan dan kesalehan disebabkan senantiasa mengikuti petunjuk Allah dan bersiap diri untuk masa pertemuan dengan-Nya di akhirat.” (Ibnul Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 112)
Hidup bersama orang-orang yang taat
Agar hati ini mau lurus, maka jalan pemaksaan yang lembut adalah hidup bersama orang-orang yang taat. Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang pasti mempunyai orang yang ia cintai dan yang ia benci. Jika itu benar, maka seharusnya seseorang selalu bersama orang-orang yang taat kepada Allah Swt.” (Imam Nawawi, Bustanul Arifiin, hlm. 42)
Sebab tabiat itu bisa diibaratkan pencuri, yang bisa mencuri kebaikan dan keburukan. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw., “Seseorang itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad)
Apabila kita berbaur dengan orang-orang yang tidak sehat hatinya (qolbun maridh wa qolbun mayyit) penyakit menyebar kemana-mana dan ilmu pun hilang, obat hati dan penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi. Inilah yang disebut tanda sumber penyakit. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 193, Penerbit Pustaka Al Kautsar (1997))
Tiga tempat menghidupkan hati
Ibnu Mas’ud berkata kepada orang yang sedang gelisah hatinya, “Carilah hatimu di tiga tempat (kesempatan): Saat mendengar ayat-ayat al-Quran dikumandangkan, di majelis-majelis tempat orang berdzikir dan di saat engkau berada sendirian di tempat sunyi. Jika tidak kamu dapatkan hatimu di tempat-tempat ini, maka bermohonlah kepada Allah agar memberikan karunia hati, sebab pada dasarnya engkau tidak mempunyai hati.” (Ibnul Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 148)
Dzikrullah
Sahl bin Abdullah berkata, “Saat itu aku masih berumur tiga tahun. Suatu malam aku bangun dari tidur dan menunggui shalat pamanku, Muhammad bin Siwar. Suatu hari paman berkata kepadaku, “Tidakkah engkau mengingat Allah yang telah menciptakan dirimu?”
“Bagaimana aku mengingat-Nya?” Aku balik bertanya.
Katakan di dalam hatimu tiga kali tanpa menggerakkan lidah, ‘Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikanku.’”
Jika malam hari aku mengucapkan di dalam hati yang seperti itu, hingga dapat mengenal-Nya. Lalu paman berkata lagi kepadaku, “Ucapkan yang seperti itu setiap malam sebelas kali!”
Maka kulakukan sarannya, sehingga di dalam hati ada sesuatu yang terasa nikmat. Setahun kemudian paman berkata kepadaku, “Jaga apa yang sudah kuajarkan kepadamu dan terus laksanakan hingga engkau masuk ke liang kuburmu.”
Maka sarannya itu terus kulaksanakan hingga aku benar-benar merasakan kenikmatan di dalam batinku. Kemudian paman berkata kepadaku, “Wahai Sahl, siapa yang Allah besertanya, melihat dan menyaksikan dirinya, maka mana mungkin dia akan mendurhakainya? Jauhilah kedurhakaan.” Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke sekolah untuk menghafalkan Al-Quran, yang saat itu umurku baru enam atau tujuh tahun. Setelah itu aku banyak berpuasa, makan hanya dengan roti dan setiap malam mendirikan shalat. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 200-201)
Puncak kesembuhan
Puncak dari kesembuhan hati ialah “merasakan di dalam hatinya bahwa Allah senantiasa besertanya.” (Ibid, hlm. 201)
Perisai
Kesembuhan itu memang diperlukan, namun ingatlah wahai sahabat, sesungguhnya setan itu tidak jemu-jemunya menggoda manusia. Lindungilah hatimu itu dengan perisai yang dapat melindunginya dari godaan-godaan setan, yaitu dengan “hidup menyendiri, melakukan amal-amal yang bisa digunakan untuk melawan hawa nafsu, banyak berdzikir dan membaca wirid.” (Ibid, hlm. 201)