Pada penghujung abad ke-16, sisi
selatan pulau Jawa masih misterius. Para kartografer dan perintis
penjelajahan pun terkecoh dengan peta semasa itu.
Abraham Ortelius, kartografer dan
geografer sohor asal Belgia, pernah menerbitkan selembar peta berjudul
Indiæ Orientalis pada 1570.
Peta itu menggambarkan wilayah Asia Tenggara berikut dengan keletakan pulau-pulaunya.
Dia merupakan kartografer pertama yang
berpendapat bahwa awalnya benua menjadi satu kemudian terpecah-pecah
hingga menemui wujudnya seperti sekarang.
Lantaran minimnya informasi dari
penjelajah, Ortellius menampilkan Pulau Jawa berbentuk bulat dengan sisi
selatan yang cembung. Bahkan, dalam peta itu Jawa sekitar dua kali
lebih luas ketimbang Borneo.
Sementara peta Asia Tenggara karya
kartografer Willem Lodewijcksz, yang terbit pada 1598, menampilkan Jawa
yang tidak utuh lantaran sisi selatannya terpotong oleh pembatas bingkai
bawah.
Tampaknya Lodewijcksz dengan sengaja telah menyembunyikan kemesteriusan Jawa.
Pertanyaan seperti apakah sisi selatan Jawa tampaknya telah menyeruak di peta-peta kuno.
Para kartografer tak kuasa lantaran
ketidaktersediaan informasi. Mereka merupakan kartografer yang menyimak
kisah-kisah para petualang yang merintis penjelajahan ke dunia timur.
Salah satu petualang asal Venesia yang sohor dan kerap menjadi referensi para kartografer adalah Marco Polo.
Dia pernah berkisah tentang perjalanannya pada saat ke Asia Tenggara di abad ke-13.
Meskipun banyak pihak meragukan kisah
perjalanannya, beberapa kartografer abad ke-16 dan ke-17 tetap
menggunakan toponimi dari pemberian Polo.
Celakanya, Marco Polo juga memberikan penggambaran yang absurd tentang Jawa.
“Pulau terbesar di dunia,” demikian
bentuk Jawa menurut Polo yang berdasar dari “testimoni pelaut-pelaut
yang tahu banyak tentang hal itu”. Para penjelajah Portugis yang
menyambangi Nusantara sebelum kedatangan Belanda, punya persepsi sendiri
tentang Jawa.
Berdasarkan kisah penghuni pulau tersebut
mereka mendapatkan informasi bahwa di tengah pulau terdapat gugusan
gunung yang melintang dari barat ke timur. Keadaan geografi itu telah
menghentikan komunikasi antara kawasan pantai utara dan selatan.
Akibatnya, pelaut Portugis mengurungkan
niat untuk segera menjelajahi sisi selatan pesisir Jawa. Misteri rupa
pesisir selatan Jawa terpecahkan pada 1580.
Francis Drake, seorang pelaut dan
politikus Inggris yang mengelilingi dunia pada 1577 sampai dengan 1580,
berjejak di pesisir selatan Jawa. Usai menjelajahi kepulauan Maluku dan
melewati celah Timor, Drake dan krunya menyusuri jalur selatan dan
mendarat di suatu tempat di pesisir selatan Jawa—tampaknya Cilacap.
Kemudian peta berjudul Insulæ Indiæ Orientalis karya kartografer Jodocus Hondius terbit pada 1606.
Dia menggambar pesisir selatan Jawa hanya
dengan garis putus-putus, namun menyisakan garis tegas yang membentuk
teluk untuk kawasan pelabuhannya.
Hondius menorehkan catatan kecil di titik tersebut, “Huc Franciscus Dra. Appulit,” yang menandai tempat Drake membuang sauhnya.
Sejak terbitnya peta Hondius itu, misteri
rupa pesisir selatan Jawa mulai terungkap. Peta-peta setelahnya
memberikan gambaran utuh tentang sebuah pulau yang pernah populer di
kalangan penjelajah samudra dengan nama Java Major. (Mahandis Y. Thamrin/ NGI, Sumber: Early Mapping of Southeast Asia via Nationalgeographic.co.id)