Setiap ada plus pastinya ada minus, ada
hitam ada putih dan seterusnya, begitu pula dengan yang terjadi di
Indonesia. Walaupun begitu, dari dua sisi tersebut, sisi putihlah yang
lebih sering diekspos ketimbang sisi hitamnya.
Indonesia selain
memiliki banyak talenta-talenta muda yang berprestasi di lingkup
nasional maupun sampai ke ranah internasional, ada pula anak-anak yang
justru harus berjuang mengarungi kerasnya hidup dikarenakan faktor
ekonomi.
Bahkan tidak sedikit
dari mereka yang harus putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga
atau juga yang bekerja sepulang sekolah dan tidur larut malam yang
membuat mereka terlalu capek hanya untuk sekadar belajar atau mengulangi
apa yang diajarkan oleh guru di waktu pagi sampai siang.
Berikut ini kisah-kisah
miris pada anak-anak di Indonesia yang berjuang dalam kerasnya
kehidupan, padahal usia mereka masih sangat kecil atau belia.
1. Taspirin
Tasripin adalah seorang
remaja dari Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok,
Banyumas, Jawa Tengah, yang harus bekerja keras mengurus dan menghidupi 3
adiknya. Bahkan untuk melakukannya itu, dia harus mengorbankan
pendidikannya dan putus sekolah.
Di usia yang masih
sangat muda ini, Taspirin harus benar-benar bekerja keras karena sang
ayah, Kuswito, pergi ke Kalimantan untuk mencari uang. Dikarenakan iba,
banyak masyarakat sekitar yang memberikan bantuan ala kadarnya untuk
Taspirin.Untung saja, di tahun 2013 lalu, kisah Taspirin sampai juga
didengar oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya
memberikan bantuan berupa sandang, pangan dan papan yang layak kepada
remaja satu ini.
2. Ai Eka Citra Lestari
Nasib dari gadis yang
beranjak remaja satu ini tidak seindah namanya, di usianya yang
tergolong masih belia, Ai Eka Citra Lestari atau biasa dipanggil Ai ini
harus seorang diri menjaga adik kandungnya sekaligus mengurus ibunya
yang mengalami gangguan jiwa.
Walaupun mendapatkan
kiriman dari dua kakaknya yang bekerja di luar kota, namun apa yang
dilakukan gadis cilik yang bertempat tinggal di Kampung Leles Girang,
Desa Kurniabakti, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya ini tentunya
sangat berat, mengingat dia masih sangat kecil untuk mengurusi segala
hal sendirian.Bahkan dia sekarang masih bingung untuk meneruskan
pendidikannya ke jenjang SMP karena harus menjaga adik dan merawat
ibunya, sekaligus keterbatasan dana.
3. Siti Aisyah Pulungan
Selama kurang lebih 2
tahunan sejak pindah dari tempat asalnya Pekanbaru, Riau, Siti Aisyah
Pulungan yang masih berusia sangat kecil harus merawat ayahnya yang
hanya bisa tergolek di atas becak saja, seorang diri.Ayahnya yang
bernama Nawawi yang telah berpisah dengan istrinya karena faktor ekonomi
pindah dari Riau untuk mencari pekerjaan baru di Medan.
Namun justru pekerjaan
barunya sebagai tukang becak tidak dapat diandalkan karena hasilnya
sangat minim. Bahkan, keduanya tidak dapat menyewa kontrakan atau kos,
hanya untuk sekadar berteduh. Dan, keduanya harus tinggal di atas
becak.Nasib Aisyah semakin memprihatinkan setelah Nawai menderita
penyakit paru-paru dan tidak dapat beraktivitas lagi, selain tergolek di
atas becaknya. Di usia yang sangat kecil, Aisyah harus merawat ayahnya
dan meminta-minta air, makan atau uang kepada siapa saja.
4. Dewi Anggraeni
Anak gadis yang beranjak
remaja ini seharusnya dapat melewati masa-masanya dengan
bersenang-senang seperti anak seusianya. Akan tetapi karena faktor
ekonomi, tepatnya harus membayar hutang kedua orang tuanya yang
dibebankan kepadanya dengan cara mengemis di perempatan jalan sepulang
sekolah sampai larut malam.Semenjak kedua orang tuanya meninggal, dialah
yang harus membayar hutang tersebut walaupun sebenarnya dia memiliki
kakak perempuan yang memutuskan untuk pergi meninggalkannya seorang
diri.
Seorang diri dengan
beban hutang sebesar Rp 6 juta yang digunakan untuk biaya perawatan
ibunya itu, Dewi terpaksa dirawat tetangganya. Bahkan dalam sehari, Dewi
harus mendapatkan uang minimal Rp 50 ribu yang akan disetorkan ke
tetangganya itu agar dia dapat melunasi hutang tersebut.
5. Rahma Ren’el
Sebagai anak tertua
satu-satunya di rumah setelah tidak ada kabar lagi dari sang kakak,
Rahma Ren’el harus menjadi buruh cuci keliling sepulang sekolah dan
terus mengharapkan ada orang yang mau menggunakan jasanya setiap
hari.Rahma melakukan pekerjaan ini karena dia harus tetap sekolah dan
menghidupi 3 adiknya seorang diri setelah ibunya meninggal dan sang ayah
memutuskan untuk pergi menikah dengan wanita lain.
Rahma dan ketiga adiknya
tinggal di sebuah rumah berukuran hanya 4×6 beralaskan tanah di daerah
Wara, Desa Batu Merah, Ambon. Dengan kehidupan yang sangat
memprihantinkan dan jika malam penerangan yang dibutuhkan untuk belajar
tidak dapat membantu, Rahma tetap berjuang keras dan tidak mau menyerah
kepada nasib, walaupun sangatlah berat baginya untuk menjadi ayah
sekaligus ibu bagi ketiga adiknya tersebut.
6. Ayu Ramayanti dan hafid
2 remaja yang berusia
sangat belia dan merupakan kakak dan adik bernama Ayu Ramayanti dan
hafid ini harus menjalani kerasnya kehidupan di saat teman-teman
sebayannya sedang menikmati masa-masa mereka dengan suka cita.Keduanya
harus bekerja sepulang sekolah sembari merawat ibunya yang menderita
lumpuh sejak beberapa tahun terakhir. Ayu yang menjadi tulang punggung
keluarga setelah sang ayah pergi meninggalkan mereka bertiga, bekerja
sebagai penjaga warung sate dengan upah Rp 10-15 ribu per harinya.
Sedangkan Hafid bekerja
sebagai tukang cuci mobil dengan bayaran hanya Rp 5 ribu per hari.Banyak
yang merasa kasihan dan iba terhadap keduanya dengan memberikan bantuan
ala kadarnya, seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa guru di
sekolah Ayu, yaitu mereka patungan mengumpulkan uang yang mana hasilnya
diberikan kepada Ayu untuk hidup sehari-hari.
7. Samsul
Di kaki Gunung Slamet,
Desa Bumijawa, Kabupaten Tegal, ada seorang penjaja makanan ringan,
cilok, yang berusia sangat belia bernama Samsul. Dia adalah anak sulung
dari 4 bersaudara yang harus bekerja keras sepulang sekolah demi dapat
membantu perekonomian keluarganya.Di usianya yang masih sangat muda dan
tubuhnya yang kecil tersebut, dia harus memikul gerobak ciloknya
berkeliling kampung. Dalam sehari, hasil penjualan ciloknya hanya
sekitar Rp 12 ribu saja.
Walaupun begitu,
keinginannya untuk terus bersekolah sangatlah tinggi. Namun tidak
seperti yang diharapkan, faktor ekonomi menghadang keinginan Samsul
tersebut.Sebenarnya Samsul masih memiliki orang tua kandung, namun
pekerjaan ayahnya yang serabutan ditambah dengan ibunya yang sering
sakit-sakitan serta untuk membantu keduanya dalam menghidupi
adik-adiknya, maka pekerjaan tersebut rela dilakukan dengan ikhlas.
8. Zainal dan Zubaidah
Jika melihat usia dan
kondisinya, pastinya Anda tidak akan tega. Zainal dan Zubaidah adalah
anak dari seorang pengayuh becak bernama Husairi. Keduanya memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolah karena ingin fokus membantu ayah mereka
mencari uang dengan cara mendorong becak dari belakang menggunakan
sepeda.
Selain Zainal dan
Zubaidah, Husairi juga masih memiliki anak lagi yang masih balita dan
harus diadopsi oleh tetangga di kampung halamannya setelah istrinya
meninggal. Husairi dan kedua anaknya itu tidak memiliki tempat tinggal
dan harus tidur di emperan toko atau di dalam becak setiap
harinya.Bahkan dalam kondisi seperti itu, Zainal dan Zubaidah tetap
dengan sekuat tenaga untuk membantu ayahnya karena mengetahui sang ayah
sedang sakit yang lumayan akut.
9. Rian Saputra
Bocah bernama Rian
Saputra yang menjadi yatim piatu setelah gelombang tsunami menghajar
Aceh beberapa tahun lalu ini akhirnya harus hidup sebatang kara dan
menjadi penyemir sepatu untuk mendapatkan uang.Memang dia sempat
diselamatkan oleh seseorang yang tidak dia kenalnya pada waktu tsunami
melanda dan menewaskan kedua orang tuanya, namun dia harus melarikan
diri karena merasa akan dijual oleh orang yang menyelamatkannya itu.
Sempat tinggal dan hidup
tak menentu, akhirnya dia didopsi oleh pasangan Nilawati dan Salmi yang
juga memiliki 6 anak dan hidup di bawah garis kemiskinan. Namun tidak
ingin bergantung kepada sang pengasuhnya, Rian lebih memilih untuk
menjadi penyemir sepatu dari warung ke warung dan tidak jarang dia harus
tidur di emperan toko ketika tidak pulang ke rumah Nilawati.
Selain mereka di atas,
masih ada ratusan atau bahkan ribuan anak yang bernasib sama dan tidak
terekspos. Mereka adalah sisi hitam dari gemilangnya para talenta muda
hebat Indonesia.